Lonceng berbunyi
pertanda seluruh warga pondok harus sudah berada di mesjid jami’, banyak santri
yang berlari meninggalkan kamar mereka agar tidak mendapat hukuman dari kakak
pengurus markazi, aku masih saja
duduk santai diteras mesjid , memperhatikan ribuan santri yang lewat
dihadapanku, sambil menunggu adzan shalat ashar dan melihat ekspresi kakak
pengurus yang berlagak sok galak.
Akhirnya aku berdiri
juga dari tempat dudukku, meninggalkan teras mesjid yang terbuat dari kramik
berwarna hitam. Aku lekas mengambil air wudlu di ka’bah, bukan ka’bah baitullah yang berada di tanah suci
sana, itu hanyalah tempat wudlu yang berbentuk persegi dan berwarna hijau,
entah kenapa dinamakan ka’bah, menurutku hanya karena bentuknya yang persegi
mirip seperti bentuk ka’bah baitullah,
sehingga para santri menyebut dengan nama tersebut, jawabanku sama seperti
jawaban mudabbirku (pengurus kamar) ketika
aku bertanya kepadanya mengenai bangunan yang terletak sisi selatan mesjid, karena
bentuknya persegi jadi dinamakan ka’bah, tapi entahlah nama itu sudah ada lama
sekali pemberian dari santri-santri terdahulu.